Rabu, November 26, 2008

DETIK-DETIKKU

Hujan mengguyur lebat. Begitu deras membasahi tanah yang semula tandus. Sungguh hebat kuasa-Nya, mendatangkan tetes demi tetes air langit yang menghidupi bumi setelah matinya, tapi sayang aku tidak dapat menikmati dan melihat keindahan air hujan yang mengguyur dengan pasti. “Tik…tik…tik…”, tetesan air membasahi tanganku. Ku tengadahkan kepalaku menatap langit-langit yang ada di sebuah ruang yang kutempati sekarang. Ternyata ada lubang kecil di sana. Aku berpindah ke pojok ruangan yang kurasa agak sedikit lebih nyaman. Dinginnya udara adalah satu-satunya temanku setiaku. Sesaat teringat kembali akan kehidupanku yang dulu, kehidupan yang tiada akan pernah kunikmati lagi.

***

Aku seorang gadis yang kurasa sangat beruntung dilahirkan ke dunia ini. Keluargaku sangat menyayangiku, ayah dan ibuku tentunya. Ayahku seorang pengusaha sukses yang memiliki saham di beberapa perusahaan besar. Ayah saat ini juga menjadi direktur utama di sebuah perusahaan jasa yang bergerak di bidang periklanan. Sosok ayah sangat kubanggakan. Selain cerdas, bertanggung jawab, ulet, pantang menyerah, ayah juga memiliki rasa humor yang tinggi hingga terkadang seperti tidak ada batas antara aku dan ayah sebagai orang tua dan anak. Karena itu tanpa kusadari terciptalah sebuah semboyan, “ayahku adalah temanku”.

Ibuku, walaupun tidak berkarier seperti ayah, ku rasa ibu memiliki prestasi yang tidak kalahnya bila dibandingkan ayah. Ibu mengukir prestasi dengan mengabdikan dirinya untuk mengurus keluarga. Tanpa pengabdian ibu, aku tidak yakin ayah akan menjadi sesukses ini serta aku yang menjadi sebahagia ini. Bagiku ia adalah sosok ideal yang pernah ada. Kurasa semua sifat positif ada padanya, ditambah lagi dengan ketaatannya dalam beribadah. Dibandingkan ayah, ibu memang lebih banyak mengambil peranan dalam keseharianku. Maklumlah karena ayah selalu sibuk dan lebih sering menghabiskan waktunya di kantor. Namun begitu, ayah tidak meninggalkan keluarganya begitu saja. Selepas pulang kerja, walau sudah malam, ayah selalu menyempatkan diri berkumpul dengan keluarga baik ketika makan malam ataupun sekedar berkumpul sambil nonton TV dan berdiskusi “kecil-kecilan“, biasanya ayah menanyakan kegiatanku di sekolah, bagaimana pelajaranku, teman-temanku, guruku, apa yang membuatku sebel hari ini, dan masih banyak lagi yang kami diskusikan, aku ayahku, dan ibuku. Selain itu Ayah juga selalu meluangkan waktunya untuk keluarga pada akhir pekan.

Lalu, bagaimana halnya dengan saudara-saudaraku?. Hm,,, sepertinya Tuhan telah menakdirkan aku lahir ke dunia ini tanpa teman. Aku adalah anak satu-satunya dari ayah dan ibu. Maka dari itu, mereka sangat menyayangiku, apapun yang ku inginkan selalu dipenuhi, ya asalkan masih pantas buatku dan bermanfaat serta sesuai dengan kebutuhanku. Bahagia rasanya hidup seperti ini sampai kapanpun. Harapanku kebahagiaan ini akan berlangsung lama.

Sebagai manusia yang hanya bisa merencanakan, aku tersadar bahwa apa yang kuinginkan belum tentu akan selalu menjadi kenyataan. Dan sepertinya suatu pertanda mulai menampakkan jejakanya kepadaku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku merasa keluargaku tidak seperti dulu lagi. Perasaan buruk itu semakin bertambah seiring dengan terjadinya beberapa peristiwa yang tidak seperti biasanya. Diawali dengan berkurangnya waktu berkumpul di akhir pekan. Sedikit demi sedikit hingga pada akhirnya sangat jarang sekali. Secara logika aku bisa menerima keadaan ini, karena setahuku memang akhir-akhir ini ayah sering ke luar kota guna mengurusi proyek yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, perasaanku mengatakan ada hal lain di balik semua itu.

Tidak hanya itu, sekarang ibu juga agak sedikit lebih tertutup. Aku tidak tahu pasti mengapa itu bisa terjadi. Dugaanku ada kegundahan di hati ibu mengenai pekerjaan ayah, tapi yang kulihat hubungan mereka berdua masih tetap harmonis. Lambat laun sepertinya perubahan itu mulai memuncak. Banyak hal yang biasa ayah dan ibu lakukan berdua tidak lagi terlihat olehku, bahkan kebiasaan mereka berdua kepadaku pun sudah mulai terasa memudar olehku. Lebih-lebih ibu suka mengurung diri di kamarnya hingga aku pun kesulitan menemui ibu padahal kami berada pada tempat yang sama. Dan ayah sangat sering keluar kota sehingga jarang di rumah. Ntah apa yang membuat keadaan menjadi seperti ini. Aku tidak mengerti dengan keadan ini, seingatku selama 18 tahun aku di dunia ini, keluargaku adalah keluarga yang sangat bahagia. Ataukah kebahagiaan yang terlihat selama ini olehku, ternyata menyimpan suatu “gundukan” yang akan meledak suatu waktu?, ntahlah. Satu persatu pertanyaan mendatangiku, selalu kucoba untuk menemukan jawabannya. Namun, tak satupun ku temui.

***

Senja yang begitu merah, seperti merahnya otakku berpikir mencari jawaban apa yang sebenarnya terjadi di keluargaku. Kemudian terlintas dipikiranku untuk menanyakan ini semua kepada ibu. “ya akan kutanyakan langsung ke ibu”.
Aku memberanikan diri menemui ibu yang sedang berada di kamarnya. “tok…tok…tok…,
Bu, boleh aku masuk?, ibu mempirsilahkan aku masuk. Kubuka pintu kamar ibu, kulihat ibu sedang membolak-balik majalah, tapi aku tahu bukan ini yang ibu lakukan sejak tadi.
“Bu”, aku mulai angkat bicara.

“ya”, kata ibu datar. Tanpa basa-basi aku langsung menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di keluarga ini, tepatnya antara ayah dan ibu. Sesaat ibu berhenti membolak-balikkan majalahnya. Degup jantungku terasa cepat menantikan sebuah jawaban dari ibu. Ku tatap ibu dengan penuh harap, ia akan menjawab pertanyaanku. Namun, ibu tak mengeluarkan sepatah katapun. Kulihat matanya yang indah mulai berkaca-kaca dan perlahan jatuh juga air matanya. Ibu menangis!. “ya Tuhan…, apakah aku telah menyakitinya dengan pertanyaan konyolku?”, gumamku dalam hati.

“Bu, maafkan aku, maafkan atas kelancanganku”, tanpa ku sadari akupun larut dalam kesedihan ibu.

“Tinggalkan Ibu sendiri, Nak!”, kata-kata yang tidak pernah ia lontarkan kepadaku. Aku bingung terhadap apa yang harus aku lakukan. Ibu mengulanginya lagi. Dengan terpaksa akupun berlalu dari ibu.

***

Pukul 01:45 dini hari. Tiba-tiba saja aku terbangun dan sangat susah bagiku untuk dapat memejamkan mataku kembali. Pikiranku mengarahkanku pada keberadaan ayah yang sejak ku injakkan kaki di kamarku, taptnya pukul sepuluh malam tadi, hingga saat ini belum juga pulang ke rumah, padahal hari ini ayah tidak ke luar kota. “ada apa dengan ayah?, apa yang terjadi dengannya?’, ya Tuhan,, lindungilah Ayah”. Hatiku resah mendapati hal ini. Tak lama setelah itu, kudengar suara mobil memasuki perkarangan rumah dan parkir di bagian halaman yang tepat terletak di depan kamarku. “ternyata Ayah”. Alhamdulillah akhirnya ayah pulang juga. Hatiku sedikit lebih tenang ketika ku tahu bahwa ayah pulang ke rumah. Dan sepertinya aku dapat melanjutkan mimpiku yang sempat tertunda. Baru beberapa saat aku memejamkan mata, kudengar ayah dan ibu yang sepertinya sedang memperdebatkan sesuatu. Entah apa yang mereka perdebatkan, semuanya terdengar samar olehku. Ku coba untuk menangkap lebih jernih pembicaraan mereka. Sayang, telingaku hanya dapat mendengarkan frekuensi yang sedikit lebih keras daripada perdebatan itu. Akhirnya kuputuskan untuk keluar kamar menuju ruang keluarga yang bersebelahan langsung dengan kamar ayah dan ibu. cukup lama perdebatan itu. Dengan segenap kesabaran akupun mengikuti alur perdebatan itu, tapi tetap saja aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Lambat laun aku pun kelelahan sendiri, mataku juga terasa perih, maka kuputuskan untuk kembali ke kamarku. Baru selangkah kakiku meninggalkan tempat di mana tadi aku mendengarkan pembicaraan mereka, ku dengar isakan tangis, karenanya kuhentikan langkahku sesaat. Ya tuhan,, Aku takut!, apa yang terjadi?,

“Paakkk”,

ya Tuhan itu tamparan. Jantungku berdegup kencang. “duh,, aku harus gimn?”, sepertinya isakan itu semakin terdengar jelas olehku. Aku sangat sedih, tanpa kusadari akupun terisak, aku tidak bisa menahan kesedihanku, aku menangis. Ya, menagis. “Ya tuhan aku tidak bisa melakukana apa-apa untuk menghentikan mereka, padahal tinggal selangkah lagi aku bisa mengedor kamar mereka”, aku berteriak walau dalam hati. Bagiku inilah malam teberat yang pernah ku alami, perasaanku tak karuan. Tiada hal yang bisa ku lakukan. Aku hanya bisa terdiam menagisi keadaan.

“AAaaaaa….”

Tiba-tiba, ku dengar teriakan yang kuat dan lambat laun menghilang. Itu suara ibu. Pikiranku semakin kacau, degup jantungku semakin kencang, aku ketakutan!. . Oh…, apa yang terjadi?”. Sepertinya sekarang aku sudah berada di puncak penasaran. Tanpa berpikir panjang, langsung saja kuhampiri kamar itu dan kubuka pintunya. Untungnya kamar itu tidak terkunci, sehingga memudahkanku untuk masuk tanpa harus menggedornya terlebih dahulu.
“ bruk..”.. kehempaskan pintu itu.

Tak ku kira apa yang terjadi. Sesaat kurasakan jantugku tiada lagi berdetak, kurasakan darahku mengalir tanpa tentu arah. Kepalaku yang semakin berat, tenggorokanku yang tercekal. Aku serasa raga tanpa jiwa, mati!. Tubuhku lemas menyaksikan keadaan di sekitarku.
Dengan napas terengah-engah, aku masih bisa mempetahankan tubuhku berdiri. Kemudian ku tatap ayah dengan penuh tanda tanya. Seketika itu juga ayah pergi meninggalkanku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Kakiku terasa terpaku, aku tidak sanggup menghampirinya, yang bisa kulakukan hanya menangis meratapinya. Ibu… ibuku sayang…

***

Setahun sudah peristiwa itu berlalu, tapi tidak juga kutemukan jawaban atas apa yang terjadi pada waktu itu. Kini, aku tinggal bersama pamanku, kaka sulung ibuku. Aku tidak mau tinggal di rumah yang dulu karena kejadian itu terus-menerus mengahantuiku. Selalu terbayang-bayang olehku setiap peristiwa yang penah ku lakukakn bersama ayah dan ibu, kebahagiaan, keceriaan, hingga peristiwa malam itu yang hampir membuatku depresi. Untungnya Setelah peristiwa itu, paman bersedia membawaku untuk tinggal bersama keluarganya. Walaupun sebenarnya aku tidak pernah mengenalnya sebagai keluargaku.

Di rumah paman, keadaanku sangat berubah. Tiada kutemukan kehidupan yang aku idam-idamkan, keluarga dan kasih sayang. Begitulah, tidak kudpatkan hal itu. Aku tidak diperlakukan sebagaimana layaknya seorang anak atau keluarganya. Aku tidak tahu kalau akhirnya jadi seperti ini, jika dari awal aku tahu dan bisa memprediksi bagaimana tabiat keluarga paman, takkan kuinjakkan kakiku di rumah ini. Aku mau ikut dengan paman semata-mata karena aku ingin mendapatkan kasih sayiang yang tiada pernah akan kudapatkan lagi dari ayah dan ibu. Sayangnya harapanku itu tak terjadi. Aku diperlakukan seperti pembantu , setiap hari aku harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Setiap pagi aku harus bangun lebih awal dan tidur lebih akhir dari orang-orang yang ada di rumah itu. Hampir tiap hari aku kena omelan-omelan pedas dari bibiku, anak malaslah, tidak tau dirilah, dan masih banyak lagi kata-kata yang benar-benar menyakitiku.

Terpikir olehku untuk kabur dari rumah yang bagai penjara bagiku. Aku bisa pulang ke kampung ke tempat nenek dan kakek. Mereka tidak tahu keadaanku di sini, mereka pikir aku baik-baik saja, maka dari itu mereka tidak memintaku tinggal bersama mereka. Ku putuskan esok hari, aku harus berangkat ke rumah nenek dan kakek.

***

Pukul 11.30 malam, baru saja kuselesaikan seluruh tugas-tugasku. Huh…, sungguh melelahkan. Kubaringkan tubuhku di tempat tidurku. Lambat laun mataku pun terpejam.
“Tok…tok…tok…”, ketukan pintu yang pelan itu membangunkanku. Kubuka pintu,
“Paman? Ada apa?”, tegasku.
“Ada yang harus kau ketahui tentang keluargamu”, jawab paman. .
“Besok saja paman, ini kan sudah malam”, dengan kewaspadaan ku berkata. Namun, paman tetap memaksakan diri masuk ke kamarku. Tanpa berpikir lagi kututup pintu kamarku. Tapi ternyata tenaga paman melebihi tenagaku, paman berhasil membuka pintu itu dan masuk ke kamarku.

“A…………!!!”,
aku berteriak sekuat tenaga ketika paman berhasil memojokkan tubuhku ke dinding. Kurasa teriakanku cukup kuat untuk membangunkan orang-orang yang ada di dalam rumah ini. Namun, paman tidak menghiraukannya. Ia menutup mulutku dan tetap memojokkanku. Pikiranku kacau, napasku sesak, rasanya aku berada di ruang tanpa oksigen, “ya Tuhan.. tolonglah aku“. Hatiku selalu berdoa meminta pertolongan Tuhan. Otakku berusaha mencari-cari apa yang mesti aku lakukan. Paman semakin garang, sesaat aku teringat akan sesuatu, ya, gunting itu!. Ku buka laci meja yang berada tepat di sebelah tangan kananku. Lalu, langsung saja kutikamkan benda itu tepat di perutnya. Lambat laun cengkraman itu melemah. Sedikit kurasakan oksigen menghampiriku, sesaat kurasakan syaraf-syaraf di otakku kembali menjadi satu. Kemudian aku tersadar, “Astaga, apa yang telah aku lakukan” aku bingung sendri, perasaanku menjadi tak terdefinisi. Di satu sisi aku merasa ketakutan. Di sisi lain, aku merasa sangat bahagia, tertawa. Aku menang….!

***

Aku berjalan di lorong yang gelap, ditemani oleh dua orang wanita kekar yang cukup menyeramkan bagiku. Ku lihat di kanan dan kiriku beraneka ragam fenomena, “mengerikan” pikirku. Krek…., pintu terbuka. “Masuk!”, kata petugas itu sambil mendorongku dengan kasar. Kupandangi ruangan itu. Gelap, pengap, penuh debu, kotor. Hanya ada sebuah tikar usang di sana. Inilah tempat tinggalku menjelang hari itu, hari di mana aku harus memasuki kehidupan lain setelah apa yang ku lakukan terhadap pamanku. Keluarganya menuntutku atas peristiwa itu. Aku dijatuhi hukuman mati, ya mati. Aku tak diberi kesempatan untuk membela diri. Walaupun terkadang terasa tidak adil bagiku, aku cukup senang karena semuanya akan segera berakhir. Lebih baik mati di penjara daripada harus menderita seumur hidup tinggal di keluarga itu. Tiada hal lain yang bisa aku lakukan selain memohon ampun atas segala dosa-dosaku kepada-Nya.

***

Hey…!, teriakan keras itu membangunkanku dari lamunan panjang. Pintu di buka, aku di tuntun melewati lorong gelap, sama seperti pertama kali aku menginjakkan kaki di tempat ini. Aku tersenyum. Ya… waktuku tiba!.


----------------------------
Aku seperti melayang di udara…
Mengepakan sayap, terbang ke langit tanpa batas,,
Mencari jawaban atas pertanyaaku selama ini,,
Semoga kutamukan ia di sana,,,

2 komentar:

Ahmad Ragen mengatakan...

WHAT AN AMAZING STORY???




------
Tapi apa sebagiannya reaL ada di U?? HHehe_Jk.

KeReN!!
Mungkin sebagian besar akan mengira itu Mutiara..
Hhahahaha...90x





U'RE A MURDER???
GUdLak deh!! =D

Mutiara mengatakan...

this is CERPEN Fiksi Murni,,

bukan kuasi,, haha..

tokoh2 dan kejadiannya hanya ada dalam dunia seorang mutiara,, =)